Dalam buku Don’t Follow your passion, singkatnya, dikatakan passion memang membuat kita bersemangat melakukan sesuatu, namun bila hanya mengandalkan passion maka akan bisa redup atau hanya sejenis pelarian diri dari vocation atau tanggung jawab kerjaan yang seharusnya dia lakukan, atau malah menghindar dari mission, alias misi hidup atau panggilan sejatinya diri kita yang seringkali tidak berhubungan dengan hobby atau juga bukan berupa kegiatan kesukaan kita yang lakukan untuk bersenang-senang.
Cal Newport dalam bukunya itu menulis mengenai bagaimana orang-orang yang mengikuti passion-nya, mengejar impiannya atau melakukan hal-hal yang dicintainya sering diungkapkan sebagai nasihat dalam membangun karir atau bidang pekerjaan. Diberitahu kepada ulusan-lulusan SMA dan sarjana-sarjana hingga membuat mereka bergonta-ganti karir dan seolah mudah bosan terhadap kerja yang menurut mereka begitu-begitu saja, dan dicap sebagai bukan passion karena mereka sedang dalam kerjaan kantor. Kenyataannya, kata-kata passion ini sampai seolah menjadi kata-kata sakti pembelaan mereka yang keluar dari pekerjaan profesional mereka, ada yang melihat passion hanya bisa diwujudkan dengan harus memiliki bisnis sendiiri, bukan sebagai karyawan, seseorang yang digaji atau pekerja kantoran. Pengejar-pengejar passion merasa “HARUS” bekerja sebagai pemain bass, penyanyi musik rock, penulis novel, komikus atau DJ, barulah seolah puas terlegitimasi karena terhipnotis kutipan peribahasa yang entah dari mana asalnya yang mengatakan, “ Kalau kamu melakukan apa yang kamu cintai, berarti engkau tidak akan merasa sedang bekerja seumur hidupmu.” Yang ternyata adalah kutipan yang serng digunakan menjadi nasehat sesat,
Professor Cal Newport juga berpendapat kalau dengan memiliki skill malah dapat tumbuh menjadi passion baru yang jauh lebih baik dibanding passion sebelumnya. Bahkan bahwa mengatakan seorang karyawan yang bahagia adalah harus mereka yang memiliki perjalanan karir beririsan dengan passion mereka adalah menyesatkan dan bahkan dapat mengarah pada kekecewaan.
Hipotesa passion dikatakan memiliki banyak kelemahan, antara lain:
- Passion seseorang sangat jarang mendukung pilihan karirnya
- Hal-hal yang kita sangat sukai atau perdulikan selalu berubah-ubah dari waktu ke waktu, seseorang yang ditanyakan passion-nya pada usia 18 tahun akan ditemukan berbeda dengan dirinya saat berusia 30 tahun, dan di usia 55 tahun passion miliknya kemungkinan akan berubah lagi.
- Hobby dan passion atau hasrat pribadi tidak selalu dapat menjadi karir yang menjanjikan, seseorang yang suka memancing di waktu cuti panjangnya, belum tentu akan merasakan rasa suka yang sama saat kalau dia harus melakukannya sebagai kewajiban setiap hari mencari nafkah.
Mengutip kata-kata Cal Newport kembali, “Karir yang bagus dan cemerlang seringkali memiliki asal muasal dari hal yang kompleks yang pastinya bukan hanya berasal dari passionnya semata”
Buku “Don’t Follow your passion” yang artinya “Jangan ikuti Passionmu” itu menyimpulkan, kalau memenuhi keinginan pribadi bukanlah rahasia untuk kepuasan dalam bekerja, jadi, apakah rahasia sebenarnya?
Argumennya adalah dengan memaparkan bahwa sesungguhnya bukan jenis pekerjaannya yang berkontribusi terhadap kepuasan pekerjaan, namun gaya hidup seseorang dalam bekerja disanalah yang menentukan, seperti fleksibilitas, otonomi dalam memimpin, pengaruh dan kreatiitas. Saat anda mengenali bahwa hal-hal ini tidak ada hubungannya dengan passion yang anda miliki sebelumnya, dan dapat ditumbuhkan dari berbagai aspek, Cal Newport melanjutkan, “ Kamu boleh tinggalkan segala pemikiran dan dongeng bahwa entah dimana ada satu pekerjaan ideal yang menanti anda.”
Jadi, apa yang sebenarnya memberikan nilai dan tenaga pengungkit yang kita butuhkan? Modal Karir atau Career Capital lah jawabannya. Inilah ketrampilan-ketrampilan yang sebenarnya sangat berharga yang menjadi daya tarik utama anda saat ada perekrut atau pemilik perusahaan mencari anda. Membangun Career
Capital inilah yang membuat anda dapat memperoleh gaya hidup professional yang anda inginkan. Pertanyaan selanjutnya, bagaimana membangun Career Capital?
- Jangan biarkan ketrampilan anda begitu-begitu saja, alias tidak ada peningkatan, berhentilah sikap terlalu bersantai, pertumbuhan dan peningkatan yang terus menerus la yang membua anda menonjol dari rekan kerja selevel anda, dan hal ini membangun career capital
- Lakukan latihan yang disengaja dan diniatkan, Psikolog K. Anders Ericsson menemukan istilah “Deliberate Practice” untuk membedakan dengan latihan biasa. Cara belajar ini memiliki karakteristik latihan yang dilakukan para orang-orang yang sukses dan (dinilai) berbakat, yang dikategorikan sebagai “Expert Performers” atau pelaku kinerja ahli hingga dapat meningkatkan ketrampilan mereka secara signifikan bahkan menembus batas-batas kemampuan mereka sebelumnya.
- Bangun pola pikir “Craftsman” atau sang pandai cendekia, sang artis, sang ahli. Dimana di masa jaman-jaman dahulu mereka-mereka inilah yang berhasil mengembangkan ketrampilan yang sangat jarang sekali orang miliki, seperti pandai besi, pembuat jam, dan pembuat lukisan dinding kerajaan, sampai bisa dibilang tidak ada orang lain yang bisa selain mereka-mereka ini. Bagaimana mereka memperolehnya? Dengan latihan yang berulang-ulang hingga kesan sangat membosankan, yang jauh sekali dari bayangan anda tentang mengejar impian.
Sehingga, daripada hanya sekedar menjawab pertanyaan berbasis kecemasan masa depan seperti, “Siapakah saya sebenarnya?” dan “Hal apakah yang sebenarnya saya cintai?”, fokuslah membuat diri anda sendiri begitu bagusnya sampai tidak ada yang bisa acuh tak acuh kepada anda. Mau anda tetap bekerja sebagai karyawan di perusahaan sekarang, pindah ke perusahaan lain, atau melompat menjadi entrepreneur, anda akan memiliki kejelasan dan kejernihan yang benar-benar menyegarkan, anda akan berhenti mengkhawatirkan apa dari pekerjaan yang anda lakukan dapat tawarkan kepada anda, malah akan berganti menjadi apa yang dapat anda dan saya tawarkan kepada dunia ini.
